Three Years




Satu

Kisahku dengannya telah usai saatku menulis sajak tentang kita. Dia matahariku. Kala sedang merekah-rekahnya. 

Di luar sedang hujan, tidak lebat, tidak gerimis. Hari ini memasuki tahun baru, awal bulan baru dengan harapan baru. Januari. Bulan hujan, bulan patah hati. Ah, semoga tidak ya.

Tapi, aku menikmati hujan di luar rumah dari celah jendela. Daun kering yang tersapu air berguguran pun aroma basah tanah menyeruak. Syahdu, sendu, namun pilu.

Yang patah akan tumbuh, yang hilang akan berganti. 

Rupanya buku dan pena di sampingku tak mau kalah menemani hujan sore ini. Setelah beberapa saat kembali menyelesaikan tulisanku yang sudah hampir dua puluh menit aku menatap semburat cahaya merah tembaga redup bertahap bersama sayup-sayup kejauhan rerintik mengerang jatuh dari genting rumah seolah memberi isyarat kepadaku.

Punah
Ketika langit-langit semakin menua
Saat hujan tertahan di antara mega
Ada sesuatu yang terasa hampa
Ada gemuruh rasa yang tak lagi senada

Parasmu masih membelenggu di hati
Mendekap ragaku yang tersipu mati
Genggaman lama kan kau lepas dan pergi
Hancurkan rindu di tepian hari

Aku ingin berlari menyusuri mimpi tak kunjung menepi
Sembari menanti datangnya pelangi sebagai saksi
Aku berdiri di sini
Mengeja sisa kata yang telah mati di telan sepi

(Bingkai Hati Untuk Semesta, 2019)

***

Ting! Sebuah notifikasi pesan dari layar handphone. Dari seseorang. Namanya ... akan kuberi tau nanti. Firasatku mengapa ada sesuatu mengganjal?

From : El
Na, cinta hadir dari tatapan mata. Kalau aku tidak pernah bertemu denganmu. Bagaimana aku bisa mencintaimu?

Benar saja. Aku terdiam mematung, menatap lamat-lamat pesan darinya. Sebelumnya aku menanyakan kabar dan perasaannya. Sudah dua minggu tidak memberi kabar. Bagaimana aku tidak rindu? Namun, balasan yang kudapat  darinya sungguh di luar dugaan. 

"Apa alasannya? Mengapa dia berkata seperti itu? Bukankah dia tidak akan mempermasalahkan jarak yang membelenggu kini? Lalu, kita pasti bertemu suatu hari nanti?". Seribu pertanyaan yang berkeliaran seenaknya di benakku. Tapi, sekian pertanyaan tersebut tidak ada yang tersampaikan.

Jadi ... apakah kau tak pernah mencintaiku selama ini, El? 

Sebuah pertanyaan bodoh yang tidak perlu dijawab. Terlontarkan begitu saja dari ketikan jemari.

From : El
Maaf 

Kali ini hujan di luar turun tak tepat waktu, rasa kecewa hadir pada senja yang perlahan meninggalkan rinainya beralih gulita yang temaram. Senja dan Hujan memang sudah tidak sejalan.

Aku mengerti. Sadar atau tidak, baru saja dia mengirimkan pesan perpisahan. Hubungan yang dibangun oleh sejuta penantian selama tiga tahun telah usai. Asa yang digantungkan ke angkasa perlahan meruntuh. Mau tidak mau, sudah menjadi bagian dari pilihannya, harus kuterima. Hari ini juga telah kusiapkan hati yang paling lapang, jiwa yang paling kuat, dan raga yang paling tangguh. Kucukupkan sekian hujan di halaman rumah, jangan ada hujan di pelupuk mata.

Sudah kubilang kan? Tidak perlu berharap lebih. Dia itu siapa dan aku bukan siapa-siapa. Isi dalam pikiranku menggebu. Tak disangka pesan perpisahan darinya datang di bulan yang sama. Januari. Setahun yang lalu aku menulis Puisi Punah.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Buku Aku dan Jogja Pukul Dua

Review Buku Mahameru

Resume Buku Perahu Kertas